All posts by Admin

Gaya Bahasa Vicky Prasetyo Adalah Pemberontakan Bahasa

Sebelumnya aku beri tahu, ini bukanlah pleidooi atau pembelaan pada Vicky Prasetyo. Sebaiknya kita tak terlalu sinis dengan Vicky Prasetyo soal gaya berbahasanya yang menurut sebagian kita ‘aneh’. Mengapa? Sebab apa yang dilontarkannya tak lebih dari sebuah fenomena berbahasa baru yang makin memperkaya (bukan mempertakut) khasanah bahasa kita. Bahkan ini bisa disebut pemberontakan berbahasa.

Coba pikir, memangnya siapa Balai Bahasa atau pemerintah yang bisa menentukan bahasa yang baik dan benar? Memang apa patokan Anda menuduh gaya Vicky amburadul, sedang bahasa sendiri merupakan buah konstruksi alias kesepakatan suatu masyarakat. Bahasa adalah ekspresi paling bebas dalam berkomunikasi yang kalau tidak berkembang, berarti ada yang tak beres dengan vitalitas budaya masyarakatnya. Apalagi kalau sudah masuk dunia sastra, bahasa ditelanjangi, berbagai kosakata baru bermunculan, rambu-rambu bahasa dilabrak, dan tak ada pakem yang baku.

Kalau Anda pernah baca tulisan-tulisan Cak Nun, mungkin Anda akan tahu kosakata yang dipakai Vicky itu belum apa-apa. Sekedar contoh, Cak Nun pernah menulis, “Saya mau dipresideni oleh dia”. Apa dipresideni itu? Apa mempresideni itu? Presidenisasi? Ada di KBBI? Tentu saja tidak ada.

Yang menyebut bahasa Vicky sebagai kebodohan, pastilah orang yang kurang kreatif dan macet otaknya, sebab ia sendiri tak pernah punya keberanian mengobrak-abrik pakem berbahasa. Ia tunduk pada kemapanan dan tak pernah sekalipun bisa mengkreasikan sesuatu yang baru. Ia manusia eksemplar. Ingat dulu di jaman Pak Harto akhiran “kan” dibunyikan sebagai “ken”, dan itu digunakan oleh banyak politisi, ilmuwan, dan orang penting lainnya. Tapi tak ada yang protes apalagi memperolok.

Intinya, bahasa, seni, kesenian, budaya, kalau tak berkembang, itu artinya kematian. Jadi kalau gaya bahasa Anda terlalu impoten dan klise, sebaiknya Anda berpikir ulang untuk memperolok Vicky.

Misal Vicky Prasetyo bilang “memprojusi barang” mungkin Anda akan ngakak dan menganggap itu bodoh dan keliru. Tapi coba urut ke belakang, bagaimana dulu kata ‘produksi’ dibentuk.

‘Produksi’ berasal dari Bahasa Inggris ‘produce’ (kata kerja) dan ‘product’ (kata benda), bisa dilanjut sampai ‘productivity’, ‘productive’, ‘productively’ dan seterusnya. Ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, kata kerjanya jadi “memproduksi”. Coba tanya diri Anda sendiri, kenapa kok bukan ‘memroduksi’ saja? Itu karena secara fonetik kedengarannya kurang enak, sebab huruf ‘m’ bila ketemu huruf ‘r’ pasti ada rasa huruf ‘p’-nya disana. Sama dengan kata ‘memproses’.

Tapi kalau niat mau menyerap bahasa asing, kenapa bukan ‘memprojusi’ saja? Atau mungkin ‘memprodusi’ biar makin pas. Bukankah kata ‘produce’ itu dibaca ‘prodjus’ atau ‘prodyus’? Kenapa kita maksa menjejerkan huruf ‘d’ dan ‘k’ di tengah? Pasti karena kata benda ‘product’. Kalau kata benda memang tepat diterjemahkan ‘produk’, tapi kalau kata kerja, nehik, karena ‘producing’ itu bukan ‘producting’. Ini namanya sudah tidak konsisten.

Cara kita menyerap bahasa asing saja masih sering aneh dan ngawur, lantas bagaimana bisa kita nuduh lidah Vicky ngawur? Kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang ngawur? Maaf sekali lagi aku tidak tertarik membela Vicky, aku cuma tertarik membela akal sehatku saja.

Orang Bejad, Orang Shaleh, dan Partai Dakwah

Saya ini orang bejad. Tak ada keraguan soal itu. Orang bejad seperti saya adalah objek ceramah dari orang-orang shaleh. Orang bejad dianggap sebagai biang kerok segala macam kehancuran. Orang bejad berjarak beberapa langkah dari neraka namun ribuan mil jauhnya dari Tuhan. Orang bejad adalah simbol keterbelakangan ilmu, ketertinggalan akhlak dan aqidah, namun orang bejad sangatlah berbeda dengan orang bodoh.

Orang bejad, sebejad apapun dia, masih mempunyai akal sehat. Ia masih mampu berdialektika dengan kehidupan dan apapun yang terjadi disekitarnya. Adapun orang shaleh, jikalau ia terlalu congkak, maka ia takkan mau menerima apapun yang datang dari mulut orang bejad, sekalipun nyaris setiap saat ia tanpa belas kasihan menghujamkan ribuan ayat-ayat suci ke kepala orang-orang bejad. Dalam situasi seperti ini, mau tak mau, orang-orang shaleh berposisi sebagai “entitas baik” yang akan berusaha menyadarkan dan menjadi panutan bagi “entitas buruk,” yakni orang-orang bejad.

Ada partai dakwah. Tak perlulah penjelasan lanjut untuk menyimpulkan bahwa para penghuni partai dakwah tersebut adalah jawara keshalehan dunia-akhirat. Para kader partai shaleh ada di baris paling depan membela yang haq dan siap menebas apapun yang bathil. Partai dakwah lahir di Indonesia, menjadi saksi harmoni kehancuran demi kehancuran yang kita selenggarakan sendiri, lantas ia bertekad kuat akan melawan segala bentuk kebathilan ini.

Sayang sekali, dalam perjalanannya, partai dakwah mulai kehilangan arah. Ia tak lagi percaya diri dengan keyakinan dan segala niatan baik yang ia bawa sedari awal. Ia limbung. Ia memutar-mutar layar perahunya berkali-kali untuk mencari tahu kemana arah angin saat ini, kemana ia seharusnya membawa perahunya. Ia nyaris sirna, ia nyaris tiada. Ia mengubah wajahnya, mengubah hakekatnya, agar ia kembali ada.

Niat membawa perubahan hancur berantakan di kaki kekuasaan. Slogan partai bersih semakin kocar-kacir. Rakyat semakin tahu, kumpulan orang shaleh yang selama ini mereka percayai sebenarnya tak lebih dari gerombolan pencoleng yang sebenarnya sama dengan gerombolan-gerombolan terdahulu. Para petinggi partai dakwah mulai berjatuhan ke kursi pesakitan, sedang kader-kadernya, masih dengan militansi yang sama, mati-matian membela partainya. Pembelaan berubah menjadi fanatisme buta. Dalam titik ini, dakwah, Islam, dan rakyat, sudah tak relevan lagi dibahas. Mereka sudah tak punya tempat.

Jikalau demikian, masihkah tepat orang-orang shaleh berkhotbah, meneriakkan nama Tuhan di hadapan orang-orang bejad, sementara orang-orang shaleh semakin sedikit yang bisa dijadikan panutan. Semakin susah mencari orang shaleh yang cocok antara perkataan dan perilakunya. Orang-orang bejad yang disisihkan pembangunan, berjuang mempertahankan kehidupan, menghalalkan segala cara untuk sekedar makan, berbisnis secara kecil-kecilan dengan Allah. Disaat yang sama, mayoritas orang-orang shaleh hidup dalam kecukupan bahkan kemewahan. Ia hanya punya satu tugas pada khalayak: memberi ceramah, berkisah soal surga dan neraka dan sifat-sifat Tuhan.

Orang bejad menyelenggarakan kehancuran secara massif dan eksplosif, sedang orang shaleh menyelenggarakan kehancuran secara sistemik dan ideologis. Sekalipun keduanya mampu menyelenggarakan kehancuran, orang shaleh tetap lebih bejo, sebab ia masih punya segala jenis dalil untuk membentengi kebusukannya. Ia masih punya Tuhan dan neraka jahanam untuk menakut-nakuti musuhnya. Ia megah dalam singgasana keshalehannya, yang tak mungkin tergapai oleh orang-orang bejad.

Lantas, masihkah kita boleh berharap suatu saat akan muncul orang shaleh dan pemimpin seperti Umar bin Khathab, yang kemiskinannya bersaing dengan kemiskinan umatnya? Dan kemana lagi orang-orang bejad mencari panutan?

Kartini dan Nyanyian Angsa

Sebelum Hari Kartini berakhir, setelah puas kita bicara soal emansipasi wanita, menonton semua acara pencitraan tentang betapa majunya wanita di negeri ini, ada baiknya kita juga membaca sebuah puisi almarhum W.S. Rendra yang sangat kontroversial kala itu berjudul “Nyanyian Angsa.”

“Nyanyian Angsa” berkisah tentang penderitaan seorang pelacur tua penyakitan bernama Maria Zaitun, yang dicampakkan dari rumah bordir, ditolak rumah sakit dan gereja, serta dijauhi masyarakat. Dalam perjalanannya yang melelahkan dan tak tentu arah ia terpaksa mencari sisa-sisa makanan di tong sampah, hingga pada saat ia sudah tak mampu lagi melangkah, ia berjumpa dengan sesosok lelaki gagah nan tampan yang muncul dari seberang kali. Lelaki yang mengasihi Maria Zaitun itu langsung mengajaknya bercinta, dan pada saat itulah ia menyadari bahwa lelaki itu adalah penyerupaan atau sosok dari Yesus Kristus sendiri.

Apa yang saya tangkap dari kisah Rendra itu adalah betapa ketika seorang pelacur, atau pekerja apapun yang dianggap buruk oleh manusia, ditindas dan dilupakan oleh semua orang, maka hanya Tuhan satu-satunya yang tersisa yang mau menemani dan mengasihinya, tak peduli seburuk dan senista apapun dia. Pada saat yang sama Rendra juga sempat meledek kebiasaan wanita-wanita “kelas terhormat” yang menganggap rendah dan jijik pada para pelacur, serta pada masa yang sama Rendra juga keras mengecam para munafik yang hanya mengambil keuntungan dari para pelacur melalui puisinya yang melegenda, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.”

Rendra sudah tiada. Tak ada lagi suara vokal yang mau menyuarakan derita para pelacur. Peringatan-peringatan Kartini selalu berlalu nyaris tanpa ada gerakan nyata untuk merangkul mereka yang masih berkutat dalam dunia pelacuran. Sedang pemerintah hanya mampu bertindak secara linier: merazia dan menangkap pelacur atau menutup paksa kompleks prostitusi. Para agamawan masih setia berkhotbah soal dosa berzina serta neraka jenis apa yang cocok untuk para pelacur. Setiap tahun ratusan prostitusi ditutup, setiap tahun pula kita melahirkan ribuan ruang prostitusi baru.

Anak-anak kita terpaksa kita mukimkan di rumah bordir, karena mohon maaf, kesinisan sosial, kecuekan pemerintah dan agamawan, serta hitung-hitungan profit bisnis masih kuat kolaborasinya untuk melanggengkan pelacuran. Itu semua dirangkum dalam satu tudingan hipokrit bahwa pelacur itu penyakit masyarakat, tapi disatu sisi juga sumber pemasukan daerah. Pelacur itu nista, tapi juga dibutuhkan untuk melokalisasi seks bebas komersil. Pelacur itu hina, tapi wajib ada agar harmoni kemunafikan dan keculasan ini tetap terjaga. Siapapun yang diuntungkan dengan adanya pelacuran, sesungguhnya sedang membikin prostitusi baru diatas prostitusi, artinya ia melacurkan hati kecilnya, ia memaksa pelacur -yang tak seorangpun diantaranya yang tak sadar bahwa zina itu dosa besar- sekaligus menjepitnya dalam ruang sempit yang sering kita sebut sebagai “himpitan ekonomi.”

Jadi jangan pernah bilang emansipasi wanita itu sudah nyata, selama pelacuran masih ada. Emansipasi bukan cuma soal pemberdayaan wanita dan penyetaraan hak-hak, tapi juga soal penindasan-penindasan nyata yang kasat mata seperti pelacuran. Berbeda dengan derita para TKW yang bergiliran dipecundangi dan dirampok di negeri orang dan di negeri sendiri, derita para pelacur sebenarnya juga tak kalah beratnya, andai kita semua mampu membuka mata dan berpikir, bahwa tak satupun dari kita yang tak lebih hina dari para pelacur…

Ketahanan Pangan Seharusnya Menjadi Omong Kosong

Dulu aku menganggap ungkapan Koes Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” itu hanyalah kiasan bernada nasionalis yang kosong, yang tujuannya adalah menghibur-hibur diri sendiri ditengah keterpurukan negeri. Walaupun sekilas ada benarnya, namun kenyataannya “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” nyaris tidak ada akar realitanya di jaman ini; ia hanya menjadi semacam lelucon dan romantisme kejayaan masa lampau. Continue reading Ketahanan Pangan Seharusnya Menjadi Omong Kosong

The Art of Kere: Sang Seniman Kere

Saudara-saudaraku sesama orang kere (kecuali yang tidak kere)…

Ada 3 kekuatan penting uang/harta. Pertama, uang mampu mengubah yang baik menjadi buruk, misal ustadz menjadi maling, atau anggota DPR menjadi rampok. Kedua, uang mampu mengubah yang buruk menjadi baik, misal orang miskin yang hidupnya menjadi berkecukupan. Ketiga, uang mampu untuk tidak mengubah apa-apa, artinya ada atau tidak ada uang, maka tidak ada perubahan apapun yang terjadi. Ketidakmampuan uang dalam mengubah sesuatu itulah yang menjadi kekuatan ketiga. Continue reading The Art of Kere: Sang Seniman Kere

Wanita Sebagai Presiden Republik Rumah Tangga

Tanpa terlebih dahulu kita berdiskusi soal dalil A atau dalil B, saya seringkali menyaksikan dalam suatu keluarga -termasuk keluarga saya sendiri- bahwa para wanita, entah ibu, bibi, anak perempuan, dsb, terkadang menjadi sosok-sosok pemimpin yang superioritas dan kemampuannya jauh melebihi kaum lelaki di keluarga tersebut (ayah, paman, kakak lelaki, dsb). Continue reading Wanita Sebagai Presiden Republik Rumah Tangga

Jakarta Adalah Venice di Masa Depan!

gondola-venice

Stop Press!!! Atau apalah namanya sekilas ide (ngawur) ini…heuheuheu… Jadi begini, banjir Jakarta yang tak kunjung beres-beres dari jaman dinosaurus tidak memberikan manfaat apa-apa bagi warganya. Saya mulai mikir yang agak ngawur karena saya ini bukan cendekiawan atau ahli tata kota babar blas. Kalau banjir tidak bisa dilawan, kenapa tidak diberdayakan saja banjir itu, misalnya, kita rombak tatanan kota Jakarta menjadi mirip Venice, Italia, yang sangat cantik seperti Angelina Sondakh…heuheu… Jakarta bisa jadi objek wisata yang menawan, masyarakat Jakarta tidak akan lagi memusuhi banjir, bahkan akan sangat mencintai banjir dan menganggap banjir sebagai salah satu berkah dari Bos Allah….

Nah, tak perlu berpanjang kata, monggo bayangkan sendiri dengan pikiran sampeyan yang pastinya jauh lebih cemerlang dari saya, gimana jadinya kalau Jakarta kita jadikan Venice? heuheuheu Salam Parodi.

Secuil Pelajaran Kehidupan dari Don Corleone

The Godfather

Sudah pernah menonton trilogy The Godfather? Film yang dibintangi Marlon Brando, Al Pacino, serta Robert de Niro ini melegenda berkat keanggunan kisah yang digarap dengan sangat menakjubkan oleh sang sutradara, Francis Ford Coppola. Film ini mengisahkan kehidupan keluarga mafia keturunan Italia di Amerika Serikat yang dimulai dari kesuksesan bisnis yang dirintis oleh sang Bapak Baptis alias the Godfather, Vito Corleone. Vito sendiri dulunya adalah seorang bocah asal pulau Sicilia, Italia, yang keluarganya dibunuh oleh mafia lokal karena tuduhan penghinaan. Vito kecil yang berhasil menyelamatkan diri lantas berimigrasi ke Amerika Serikat dan disanalah kehidupannya dimulai. Continue reading Secuil Pelajaran Kehidupan dari Don Corleone